Novel: "Behind The Rain" Baba 3 Misi Damai Gagal Total
Bab 3: Misi Damai Gagal Total
Hari Senin pagi, Hana tiba-tiba mendapat pesan di grup
penghuni apartemen. Pesan itu dikirim oleh pengelola, yang memberi tahu bahwa
ada keluhan dari beberapa penghuni mengenai konflik antar tetangga. Sebagai
respons, pengelola apartemen memutuskan untuk mengadakan sesi mediasi bagi
penghuni yang bermasalah.
Dan siapa nama pertama yang disebutkan di daftar
undangan?
Hana dan Raffa.
“Ya Allah, ini pasti gara-gara dia!” Hana membuang
ponselnya ke sofa.
Seolah semesta mengerti kemarahannya, beberapa saat
kemudian, Hana mendengar ketukan di pintunya. Ia membukanya dengan setengah
hati, hanya untuk menemukan Raffa berdiri di sana dengan ekspresi malas.
“Kamu dapat undangan dari pengelola?” tanya Raffa
sambil menyandarkan tubuhnya di kusen pintu.
“Ya, jelas. Kamu pikir siapa yang bikin aku ada di
situasi ini?” balas Hana ketus.
Raffa tersenyum kecil. “Aku juga nggak senang, tahu.
Tapi kita harus datang. Kalau nggak, denda seratus ribu per orang.”
Hana mendengus. “Aku nggak mau bayar denda. Jadi, aku
akan datang. Dan aku akan bilang ke pengelola bahwa semua ini salah kamu.”
“Silakan saja. Aku juga bisa bilang hal yang sama soal
kamu.”
Hana hanya memutar bola matanya sebelum menutup pintu
dengan keras.
Di Ruang Mediasi
Sesi mediasi itu diadakan di ruangan kecil dekat lobi
apartemen. Ada seorang staf pengelola yang bertugas sebagai mediator, seorang
wanita muda bernama Fira, yang tampak ramah tapi tegas.
Hana datang lebih dulu, membawa notebook dan pena. Ia
sudah siap mencatat semua argumennya untuk melawan Raffa. Tak lama, Raffa
muncul dengan tangan kosong, mengenakan kaos hitam dan celana jeans santai.
“Selamat pagi, Mbak Hana. Senang sekali bertemu lagi,”
sapa Raffa sambil duduk.
Hana hanya meliriknya sekilas.
Fira tersenyum lebar. “Oke, mari kita mulai. Saya
dengar kalian berdua punya beberapa masalah sebagai tetangga?”
“Beberapa?” Hana tertawa sarkastik. “Mungkin lebih
tepatnya banyak.”
Raffa mengangguk setuju. “Dia benar. Masalah itu
datang dari dia.”
Hana langsung menoleh dengan tatapan tajam. “Masalah?
Masalah apa? Justru kamu yang selalu bikin keributan!”
Raffa mengangkat bahu. “Aku nggak tahu apa yang kamu
maksud. Aku cuma hidup seperti biasa.”
“Seperti biasa? Parkir sembarangan, musik keras, buang
kardus di lorong, itu menurutmu biasa?”
Fira mengangkat tangan untuk menghentikan perdebatan.
“Tenang, tenang. Kita di sini untuk menyelesaikan masalah, bukan menambahnya.”
Raffa bersandar di kursinya, tampak lebih santai.
“Oke, Mbak Fira. Menurut saya, Mbak Hana ini terlalu sensitif. Dia harus
belajar lebih santai. Hidup kan nggak harus selalu serius.”
Hana menghela napas panjang, mencoba menahan diri.
“Ini bukan soal sensitif atau nggak. Ini soal aturan dan sopan santun.”
Fira mencatat sesuatu di buku catatannya sebelum
bertanya, “Baiklah, apakah ada solusi yang kalian pikir bisa membantu?”
Hana langsung menjawab, “Dia harus berhenti mengganggu
ketenangan orang lain. Itu saja.”
Raffa tersenyum tipis. “Dan aku cuma mau dia berhenti
terlalu banyak mengeluh. Aku rasa itu adil.”
Fira terdiam sejenak, lalu menatap keduanya.
“Bagaimana kalau kita buat kesepakatan sederhana? Misalnya, Raffa setuju untuk
tidak memutar musik keras setelah jam 9 malam, dan Hana setuju untuk tidak
terlalu reaktif terhadap hal-hal kecil.”
Hana memutar matanya. “Hal kecil? Ini soal prinsip.”
Raffa mengangkat tangan. “Aku setuju, deh, soal musik
itu. Tapi aku nggak janji soal hal-hal lain. Aku orangnya spontan.”
Fira tersenyum lelah. “Baiklah. Kita mulai dari itu
dulu. Kalau ada masalah lagi, kalian bisa lapor ke saya. Setuju?”
Hana mengangguk setengah hati. Raffa hanya tersenyum
sambil berkata, “Setuju.”
Setelah Mediasi
Keluar dari ruangan mediasi, Hana merasa tidak puas.
Ia yakin Raffa tidak akan benar-benar mematuhi kesepakatan itu.
“Lihat aja nanti,” gumamnya sambil berjalan ke arah
lift.
Namun, saat ia masuk lift, Raffa menyusul dan berdiri
di sebelahnya. Mereka terjebak dalam keheningan canggung.
“Kamu nggak suka, ya, sama aku?” tanya Raffa
tiba-tiba.
Hana menoleh dengan ekspresi bingung. “Pertanyaan
macam apa itu?”
“Aku cuma penasaran. Kamu kayaknya selalu marah-marah
tiap ketemu aku.”
Hana mendengus. “Kalau kamu tahu jawabannya, kenapa
masih nanya?”
Raffa tertawa kecil. “Aku cuma pengen tahu aja. Siapa
tahu suatu hari nanti kamu berubah pikiran.”
Hana memutar matanya. “Nggak akan terjadi.”
Komentar