![]() |
Behind The Rain |
Hari itu, apartemen Hana mendadak terasa seperti zona perang. Bukan karena ada musik keras dari unit sebelah, tapi karena air yang menggenang di dapurnya. Pipa wastafel yang biasanya bekerja tanpa masalah kini bocor parah, menyebabkan air meluber ke lantai.
“Ya ampun, kenapa harus sekarang?” gerutu Hana sambil
mencoba menyumpal kebocoran itu dengan handuk. Tapi sia-sia, air tetap mengalir
deras.
Tanpa pilihan lain, Hana memutuskan untuk memanggil
teknisi apartemen. Setelah beberapa panggilan, akhirnya seorang petugas datang.
Namun, begitu melihat kondisi pipa yang bocor, petugas itu langsung
menggelengkan kepala.
“Ini butuh penggantian total, Mbak. Tapi stok pipa
baru kosong. Mungkin baru bisa diperbaiki besok.”
“Besok? Tapi aku butuh wastafel ini sekarang!”
Petugas hanya tersenyum meminta maaf sebelum pergi. Hana
duduk di lantai dapur dengan putus asa, menatap genangan air yang semakin
meluas.
Saat itulah suara ketukan terdengar di pintunya.
Dengan malas, Hana bangkit dan membuka pintu. Dan, seperti sudah diduga, Raffa
berdiri di sana dengan senyum sok santainya.
“Aku dengar ada masalah pipa bocor?” tanya Raffa
sambil melirik ke dalam apartemen Hana.
“Dari mana kamu tahu?”
“Petugas tadi lewat depan pintuku. Dia cerita sedikit.
Jadi, apa kamu butuh bantuan?”
Hana menatapnya penuh curiga. “Bantuan apa?”
Raffa menyandarkan diri di kusen pintu. “Aku lumayan
ahli soal perbaikan kecil. Kalau kamu mau, aku bisa coba lihat.”
Hana ragu. Di satu sisi, ia tidak ingin berutang budi
pada Raffa. Tapi di sisi lain, apartemennya sudah berubah jadi kolam renang
mini.
“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Tapi jangan harap aku
akan berterima kasih berlebihan.”
“Tenang aja. Aku bantu bukan buat itu,” kata Raffa
dengan senyum misterius.
Misi Perbaikan
Raffa masuk ke dapur Hana dan mulai memeriksa pipa. Ia
melepas hoodie-nya, menyisakan kaos oblong hitam yang membuat lengan berototnya
terlihat jelas. Hana berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan, tapi sulit
mengabaikan bahwa tetangganya ini ternyata cukup… menarik, kalau tidak
menyebalkan.
“Ini masalahnya di sini,” kata Raffa sambil menunjuk
sambungan pipa yang bocor. “Ada karet penutup yang longgar. Aku bisa coba
kencangkan sementara.”
Dengan sigap, Raffa membuka tas kecil yang ternyata
berisi alat-alat seperti tang, obeng, dan gulungan isolasi pipa. Hana hanya
bisa berdiri di belakangnya, merasa sedikit canggung.
“Kamu selalu bawa alat-alat ini?” tanya Hana akhirnya,
mencoba memecah keheningan.
“Selalu,” jawab Raffa tanpa menoleh. “Kamu nggak tahu
kapan butuh memperbaiki sesuatu.”
“Aku nggak tahu kamu tipe yang praktis,” gumam Hana
pelan.
Raffa terkekeh. “Ada banyak hal yang kamu nggak tahu
soal aku, Mbak Hana.”
Hana mendengus pelan. “Dan aku nggak tertarik tahu.”
Raffa tidak menjawab, hanya fokus pada pekerjaannya.
Setelah beberapa menit, ia berdiri dan membersihkan tangannya dengan lap.
“Sudah selesai. Bocornya harusnya berhenti sekarang.”
Hana mendekat untuk memeriksa. Air memang tidak lagi
mengalir, dan lantai dapurnya perlahan mengering.
“Terima kasih,” katanya akhirnya, meskipun terasa
berat di lidah.
Raffa tersenyum lebar. “Nggak usah sungkan. Kalau ada
apa-apa lagi, tinggal panggil aku.”
“Aku harap nggak akan ada lagi,” balas Hana sambil
mengantar Raffa keluar.
Namun, sebelum pria itu pergi, ia berhenti sejenak di
ambang pintu.
“Ngomong-ngomong, aku ada saran.”
“Apa lagi sekarang?”
“Besok, kalau pipa ini masih bocor lagi sebelum
petugas datang, aku sedia ember di apartemen. Kamu tahu harus cari aku, kan?”
Hana menutup pintu dengan keras, mendengar tawa kecil Raffa
di lorong.
Keanehan yang Baru
Malam harinya, Hana mencoba untuk melupakan kejadian
hari itu. Tapi otaknya terus memutar ulang percakapan dengan Raffa. Ada sesuatu
yang mengganggu, entah kenapa ia tidak bisa menghapus bayangan senyuman pria
itu dari pikirannya.
“Kenapa aku malah mikirin dia?” gumamnya sambil
menepuk kepala sendiri.
Namun, pikirannya kembali ke realitas ketika sebuah
pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu dari Raffa.
Raffa: “Wastafel aman,
kan? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan.”
Hana mengetik balasan cepat: “Aman. Jangan ganggu
aku.”
Tapi beberapa saat setelah mengirimnya, Hana merasa
sedikit bersalah.
Raffa: “Siap, Mbak Hana
yang galak. Selamat malam :)”
Hana mendengus, lalu meletakkan ponselnya di meja.
Tapi di balik kekesalannya, ada sedikit senyum kecil yang tidak bisa ia tahan.
Sebuah Pertanyaan Baru
Di tempat tidurnya, Hana merenung. Apa mungkin Raffa
tidak seburuk yang ia pikirkan? Pria itu memang menyebalkan, tapi ada sisi lain
yang, kalau dipikir-pikir, cukup menenangkan.
Namun, sebelum pikirannya melayang lebih jauh, Hana
segera menyelimuti dirinya dan memaksa dirinya untuk tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar