Bab 6: Undangan Tak Terduga
Hari itu, Hana baru saja selesai membereskan
pekerjaannya saat sebuah pesan muncul di grup penghuni apartemen. Pengumuman
dari pengelola, tapi isinya tidak seperti biasanya.
"Kami mengundang seluruh penghuni
untuk menghadiri acara potluck komunitas di taman apartemen, Sabtu malam ini.
Jangan lupa bawa makanan buatan sendiri untuk berbagi dengan tetangga!"
Hana memandangi pesan itu dengan wajah bingung.
“Potluck? Buatan sendiri?” Hana menghela napas
panjang. Membayangkan dirinya harus memasak untuk orang banyak membuat
kepalanya pening.
Belum selesai ia mengeluh dalam hati, tiba-tiba
ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, sebuah pesan pribadi dari nomor tak asing.
Raffa: “Mau masak apa
buat potluck? Jangan bilang beli di luar.”
Hana mendengus. “Dia selalu punya waktu untuk ikut
campur,” gumamnya.
Balasan cepat meluncur dari jarinya.
Hana: “Belum tahu. Kenapa, memangnya?”
Raffa: “Cuma nanya. Kalau kamu butuh bantuan, aku ada.”
Hana: “Thanks, tapi aku nggak butuh bantuan.”
Hana meletakkan ponselnya dengan perasaan aneh. Ia
tahu Raffa suka membuatnya kesal, tapi kali ini tawarannya terdengar tulus.
Persiapan Menu Potluck
Sabtu pagi, Hana memutuskan untuk membuat sesuatu yang
sederhana tapi elegan: pasta salad. Resepnya ia temukan di internet, dan
sepertinya cukup mudah dilakukan. Dengan penuh semangat, ia pergi ke
supermarket untuk membeli bahan-bahan.
Namun, ketika ia kembali ke apartemen dan mulai
memasak, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Ia salah membeli bahan utama. Bukannya pasta fusilli
seperti yang diminta resep, ia malah membeli makaroni kecil.
“Ya ampun, kenapa aku bisa salah?” Hana panik.
Di tengah frustrasi, ketukan di pintu terdengar. Ia
membuka pintu dengan wajah setengah kusut, hanya untuk menemukan Raffa berdiri
di sana, membawa kantong belanjaan.
“Aku tebak, kamu lagi panik soal masakan?” tanya Raffa
dengan senyum usil.
Hana melotot. “Kamu ini cenayang atau apa?”
“Nggak perlu jadi cenayang buat tahu. Aku tahu kamu
perfeksionis, pasti masakanmu harus sempurna,” jawab Raffa sambil melangkah
masuk tanpa diundang.
“Kamu ngapain bawa belanjaan?”
Raffa mengeluarkan beberapa bahan dari kantongnya.
“Aku rencananya mau bikin sup krim, tapi aku bisa bantu kamu dulu kalau butuh.
Apa masalahnya?”
Hana menyerah. Ia menceritakan soal kesalahannya
membeli pasta.
“Itu masalah kecil,” kata Raffa sambil mengangkat
bahu. “Kita bisa ganti resep sedikit.”
“Ganti gimana?”
“Kita bikin salad makaroni. Tambah mayones, keju, dan
potongan daging asap. Aku sering bikin ini waktu kuliah. Orang pasti suka.”
Hana ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.
Tapi kalau gagal, aku akan menyalahkanmu.”
Raffa hanya tertawa.
Bersama di Dapur
Sementara Hana memotong bahan-bahan, Raffa sibuk
mencampur bumbu dengan tangan cekatan. Hana harus mengakui, meskipun gaya Raffa
agak sembarangan, ia tampak percaya diri.
“Jadi, kenapa kamu tiba-tiba peduli soal acara potluck
ini?” tanya Hana, mencoba mengalihkan perhatiannya dari fakta bahwa mereka
bekerja sama dengan cukup baik.
“Kadang seru, kan, kenal sama tetangga lain. Lagipula,
kamu nggak tahu, mungkin ada yang bawa makanan enak.”
Hana mendengus. “Kamu selalu ada alasan soal makanan.”
“Ya, karena itu penting,” balas Raffa santai. “Dan
jujur aja, aku penasaran gimana reaksi orang kalau kita bilang ini hasil
kolaborasi.”
Hana menatapnya tajam. “Siapa bilang ini kolaborasi?”
Raffa hanya terkekeh tanpa menjawab.
Acara Potluck
Malam itu, taman apartemen berubah menjadi tempat
pesta kecil. Meja-meja panjang diatur rapi, dihiasi makanan buatan para
penghuni. Hana meletakkan salad makaroni di salah satu sudut meja, sementara Raffa
menaruh sup krimnya tepat di sebelahnya.
“Lihat,” bisik Raffa sambil menunjuk salah satu
penghuni yang mengambil salad makaroni mereka. “Dia makan. Dan dia tersenyum.”
Hana memperhatikan dengan rasa bangga kecil yang tak
bisa ia sembunyikan. Tapi ia tetap berusaha terlihat biasa saja. “Tentu saja.
Itu karena aku yang potong bahan-bahannya.”
Raffa tertawa kecil. “Terserah kamu aja.”
Malam itu berjalan dengan lancar. Mereka bahkan sempat
berbincang dengan beberapa tetangga lain, dan untuk pertama kalinya, Hana
merasa lebih santai.
Namun, yang membuatnya terkejut adalah saat acara
hampir selesai. Raffa tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman
ringan.
“Untuk kita,” katanya sambil menyerahkan satu gelas.
“Kenapa tiba-tiba romantis?” Hana menatapnya curiga.
“Bukan romantis. Ini cuma perayaan kecil karena kita
nggak berantem hari ini. Jarang terjadi, kan?”
Hana tersenyum tipis. “Baiklah. Untuk tidak berantem.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar