Senin, Agustus 18, 2025

novel "Behind The Rain" Bab 5: Masalah di Kelas Memasak

 Bab 5: Masalah di Kelas Memasak

Minggu pagi itu, Hana memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ingin ia coba: mengikuti kelas memasak. Ia menemukan kelas tersebut di sebuah studio kuliner kecil di lantai bawah apartemennya.

“Aku harus bisa masak sesuatu yang lebih dari sekadar mie instan,” gumam Hana sambil mendaftar ke kelas yang bertema “Makanan Penutup Elegan untuk Pemula.”

Setelah mengenakan celemek, ia memasuki ruangan yang penuh dengan meja panjang, bahan-bahan segar, dan orang-orang yang tampak antusias. Semua terlihat sempurna sampai seorang peserta baru masuk ke ruangan.

Dan siapa lagi kalau bukan Raffa.

Hana langsung terbelalak. “Kamu ngapain di sini?”

Raffa yang juga mengenakan celemek hanya menyeringai santai. “Ikut kelas memasak, sama kayak kamu. Kenapa?”

“Kamu nggak punya hal lain yang lebih penting?”

Raffa mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, belajar masak rasanya penting, kan? Lagi pula, aku sering pesan makanan online. Mungkin ini cara hemat buat makan enak.”

Hana mendengus. “Kamu pasti salah masuk kelas. Ini kelas makanan penutup, bukan kelas bikin mie goreng.”

Raffa terkekeh. “Makanya aku di sini. Biar nambah ilmu.”

Pengajar kelas, seorang wanita paruh baya bernama Bu Ratna, segera meminta semua peserta untuk mengambil posisi di meja masing-masing. Hana mencoba mengabaikan Raffa yang kebetulan berdiri tepat di meja sebelahnya.

Kekacauan di Dapur Mini

Kelas dimulai dengan pembuatan chocolate molten cake, hidangan pencuci mulut klasik yang tampak sederhana, tapi ternyata cukup rumit.

Hana, yang dikenal perfeksionis, mengikuti setiap langkah dengan teliti. Ia mencatat instruksi, mengukur bahan dengan presisi, dan memastikan semuanya berjalan lancar.

Sebaliknya, Raffa tampak seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk dapur. Ia mencampur bahan tanpa membaca instruksi, menumpahkan cokelat cair ke meja, dan bahkan hampir menumpahkan gula ke lantai.

“Mas Raffa, tolong lebih hati-hati,” tegur Bu Ratna sambil tersenyum sabar.

Raffa hanya tertawa kecil. “Maaf, Bu. Saya belum terbiasa.”

Hana menghela napas panjang. “Kamu benar-benar nggak cocok di sini.”

Raffa menoleh ke arah Hana sambil tersenyum jahil. “Kamu yang terlalu serius. Masak itu soal seni, bukan matematika.”

“Seni juga butuh aturan,” balas Hana sambil memutar matanya.

Namun, meskipun ia kesal, Hana tidak bisa menahan diri untuk memperhatikan bagaimana Raffa dengan penuh semangat mencoba meskipun hasilnya kacau. Ada sesuatu yang aneh dan… sedikit menggemaskan dalam caranya berusaha.

Ketika Kekacauan Meninggalkan Bekas

Setelah sekitar satu jam, semua peserta diminta memanggang adonan mereka di oven. Hana yakin bahwa miliknya akan sempurna. Sebaliknya, Raffa bahkan tidak yakin apakah adonannya bisa mengeras.

Ketika saatnya tiba untuk mengeluarkan hasil masing-masing, Hana tersenyum puas melihat molten cake-nya yang mengilap dan harum.

Sementara itu, Raffa mengeluarkan sesuatu yang lebih mirip dengan bola cokelat gosong.

“Apa ini?” gumamnya sambil menatap kue buatannya dengan bingung.

Hana tidak bisa menahan tawa. “Itu namanya bencana.”

Raffa ikut tertawa kecil. “Ya, tapi setidaknya aku mencoba.”

Namun, yang mengejutkan Hana adalah ketika Raffa menawarkan potongan kecil dari kue gosongnya padanya.

“Coba ini, siapa tahu enak,” katanya sambil menyodorkan sendok kecil.

Hana mengerutkan dahi. “Kamu serius?”

“Kenapa nggak? Mungkin kelihatannya nggak bagus, tapi rasanya bisa aja mengejutkan.”

Setelah ragu beberapa detik, Hana akhirnya mencicipi sedikit.

“Hmmm…” Hana merenung. “Nggak terlalu buruk, sih. Tapi masih jauh dari enak.”

Raffa tertawa. “Berarti aku harus ikut kelas lagi. Barangkali kita bisa jadi partner?”

Hana melotot. “Tidak mungkin!”

Kejutan Manis di Akhir Kelas

Ketika kelas selesai, semua peserta diperbolehkan membawa pulang hasil karya mereka. Hana membawa molten cake-nya dengan bangga, sementara Raffa hanya membawa sekotak kecil adonannya yang gagal.

Namun, sebelum mereka berpisah, Raffa memanggil Hana.

“Eh, Mbak Hana,” katanya sambil menyerahkan sekotak kecil cokelat yang ia beli dari pengajar.

“Apa ini?” tanya Hana, bingung.

“Karena kamu nggak mungkin mau makan kue gosongku, ini gantinya. Anggap aja ucapan terima kasih karena udah nggak marah-marah selama kelas.”

Hana menatap kotak itu dengan ragu, tapi akhirnya menerimanya. “Terima kasih, aku rasa.”

Raffa tersenyum lebar. “Sama-sama. Sampai ketemu lagi di kelas berikutnya!”

Hana hanya mendengus, tapi dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang sedikit berubah. Raffa memang menyebalkan, tapi kali ini, ia merasa bahwa mungkin ada sisi lain dari pria itu yang layak untuk dikenali.

Kamis, Juli 17, 2025

Novel: "Behind The Rain" Bab 4: Bukan Salah Siapa-siapa (Tapi Tetap Menyebalkan)


Bab 4: Bukan Salah Siapa-siapa (Tapi Tetap Menyebalkan)

Behind The Rain

Hari itu, apartemen Hana mendadak terasa seperti zona perang. Bukan karena ada musik keras dari unit sebelah, tapi karena air yang menggenang di dapurnya. Pipa wastafel yang biasanya bekerja tanpa masalah kini bocor parah, menyebabkan air meluber ke lantai.

“Ya ampun, kenapa harus sekarang?” gerutu Hana sambil mencoba menyumpal kebocoran itu dengan handuk. Tapi sia-sia, air tetap mengalir deras.

Tanpa pilihan lain, Hana memutuskan untuk memanggil teknisi apartemen. Setelah beberapa panggilan, akhirnya seorang petugas datang. Namun, begitu melihat kondisi pipa yang bocor, petugas itu langsung menggelengkan kepala.

“Ini butuh penggantian total, Mbak. Tapi stok pipa baru kosong. Mungkin baru bisa diperbaiki besok.”

“Besok? Tapi aku butuh wastafel ini sekarang!”

Petugas hanya tersenyum meminta maaf sebelum pergi. Hana duduk di lantai dapur dengan putus asa, menatap genangan air yang semakin meluas.

Saat itulah suara ketukan terdengar di pintunya. Dengan malas, Hana bangkit dan membuka pintu. Dan, seperti sudah diduga, Raffa berdiri di sana dengan senyum sok santainya.

“Aku dengar ada masalah pipa bocor?” tanya Raffa sambil melirik ke dalam apartemen Hana.

“Dari mana kamu tahu?”

“Petugas tadi lewat depan pintuku. Dia cerita sedikit. Jadi, apa kamu butuh bantuan?”

Hana menatapnya penuh curiga. “Bantuan apa?”

Raffa menyandarkan diri di kusen pintu. “Aku lumayan ahli soal perbaikan kecil. Kalau kamu mau, aku bisa coba lihat.”

Hana ragu. Di satu sisi, ia tidak ingin berutang budi pada Raffa. Tapi di sisi lain, apartemennya sudah berubah jadi kolam renang mini.

“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Tapi jangan harap aku akan berterima kasih berlebihan.”

“Tenang aja. Aku bantu bukan buat itu,” kata Raffa dengan senyum misterius.

Misi Perbaikan

Raffa masuk ke dapur Hana dan mulai memeriksa pipa. Ia melepas hoodie-nya, menyisakan kaos oblong hitam yang membuat lengan berototnya terlihat jelas. Hana berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan, tapi sulit mengabaikan bahwa tetangganya ini ternyata cukup… menarik, kalau tidak menyebalkan.

“Ini masalahnya di sini,” kata Raffa sambil menunjuk sambungan pipa yang bocor. “Ada karet penutup yang longgar. Aku bisa coba kencangkan sementara.”

Dengan sigap, Raffa membuka tas kecil yang ternyata berisi alat-alat seperti tang, obeng, dan gulungan isolasi pipa. Hana hanya bisa berdiri di belakangnya, merasa sedikit canggung.

“Kamu selalu bawa alat-alat ini?” tanya Hana akhirnya, mencoba memecah keheningan.

“Selalu,” jawab Raffa tanpa menoleh. “Kamu nggak tahu kapan butuh memperbaiki sesuatu.”

“Aku nggak tahu kamu tipe yang praktis,” gumam Hana pelan.

Raffa terkekeh. “Ada banyak hal yang kamu nggak tahu soal aku, Mbak Hana.”

Hana mendengus pelan. “Dan aku nggak tertarik tahu.”

Raffa tidak menjawab, hanya fokus pada pekerjaannya. Setelah beberapa menit, ia berdiri dan membersihkan tangannya dengan lap.

“Sudah selesai. Bocornya harusnya berhenti sekarang.”

Hana mendekat untuk memeriksa. Air memang tidak lagi mengalir, dan lantai dapurnya perlahan mengering.

“Terima kasih,” katanya akhirnya, meskipun terasa berat di lidah.

Raffa tersenyum lebar. “Nggak usah sungkan. Kalau ada apa-apa lagi, tinggal panggil aku.”

“Aku harap nggak akan ada lagi,” balas Hana sambil mengantar Raffa keluar.

Namun, sebelum pria itu pergi, ia berhenti sejenak di ambang pintu.

“Ngomong-ngomong, aku ada saran.”

“Apa lagi sekarang?”

“Besok, kalau pipa ini masih bocor lagi sebelum petugas datang, aku sedia ember di apartemen. Kamu tahu harus cari aku, kan?”

Hana menutup pintu dengan keras, mendengar tawa kecil Raffa di lorong.

Keanehan yang Baru

Malam harinya, Hana mencoba untuk melupakan kejadian hari itu. Tapi otaknya terus memutar ulang percakapan dengan Raffa. Ada sesuatu yang mengganggu, entah kenapa ia tidak bisa menghapus bayangan senyuman pria itu dari pikirannya.

“Kenapa aku malah mikirin dia?” gumamnya sambil menepuk kepala sendiri.

Namun, pikirannya kembali ke realitas ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu dari Raffa.

Raffa: “Wastafel aman, kan? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan.”

Hana mengetik balasan cepat: “Aman. Jangan ganggu aku.”

Tapi beberapa saat setelah mengirimnya, Hana merasa sedikit bersalah.

Raffa: “Siap, Mbak Hana yang galak. Selamat malam :)”

Hana mendengus, lalu meletakkan ponselnya di meja. Tapi di balik kekesalannya, ada sedikit senyum kecil yang tidak bisa ia tahan.

Sebuah Pertanyaan Baru

Di tempat tidurnya, Hana merenung. Apa mungkin Raffa tidak seburuk yang ia pikirkan? Pria itu memang menyebalkan, tapi ada sisi lain yang, kalau dipikir-pikir, cukup menenangkan.

Namun, sebelum pikirannya melayang lebih jauh, Hana segera menyelimuti dirinya dan memaksa dirinya untuk tidur.

“Dia tetap tetangga paling menyebalkan,” gumamnya, meskipun dalam hati ia tahu, perasaannya mulai berubah.

Senin, Maret 10, 2025

Novel: "Behind The Rain" Baba 3 Misi Damai Gagal Total

Bab 3: Misi Damai Gagal Total

Misi damai gagal total

Hari Senin pagi, Hana tiba-tiba mendapat pesan di grup penghuni apartemen. Pesan itu dikirim oleh pengelola, yang memberi tahu bahwa ada keluhan dari beberapa penghuni mengenai konflik antar tetangga. Sebagai respons, pengelola apartemen memutuskan untuk mengadakan sesi mediasi bagi penghuni yang bermasalah.

Dan siapa nama pertama yang disebutkan di daftar undangan?

Hana dan Raffa.

“Ya Allah, ini pasti gara-gara dia!” Hana membuang ponselnya ke sofa.

Seolah semesta mengerti kemarahannya, beberapa saat kemudian, Hana mendengar ketukan di pintunya. Ia membukanya dengan setengah hati, hanya untuk menemukan Raffa berdiri di sana dengan ekspresi malas.

“Kamu dapat undangan dari pengelola?” tanya Raffa sambil menyandarkan tubuhnya di kusen pintu.

“Ya, jelas. Kamu pikir siapa yang bikin aku ada di situasi ini?” balas Hana ketus.

Raffa tersenyum kecil. “Aku juga nggak senang, tahu. Tapi kita harus datang. Kalau nggak, denda seratus ribu per orang.”

Hana mendengus. “Aku nggak mau bayar denda. Jadi, aku akan datang. Dan aku akan bilang ke pengelola bahwa semua ini salah kamu.”

“Silakan saja. Aku juga bisa bilang hal yang sama soal kamu.”

Hana hanya memutar bola matanya sebelum menutup pintu dengan keras.

Di Ruang Mediasi

Sesi mediasi itu diadakan di ruangan kecil dekat lobi apartemen. Ada seorang staf pengelola yang bertugas sebagai mediator, seorang wanita muda bernama Fira, yang tampak ramah tapi tegas.

Hana datang lebih dulu, membawa notebook dan pena. Ia sudah siap mencatat semua argumennya untuk melawan Raffa. Tak lama, Raffa muncul dengan tangan kosong, mengenakan kaos hitam dan celana jeans santai.

“Selamat pagi, Mbak Hana. Senang sekali bertemu lagi,” sapa Raffa sambil duduk.

Hana hanya meliriknya sekilas.

Fira tersenyum lebar. “Oke, mari kita mulai. Saya dengar kalian berdua punya beberapa masalah sebagai tetangga?”

“Beberapa?” Hana tertawa sarkastik. “Mungkin lebih tepatnya banyak.”

Raffa mengangguk setuju. “Dia benar. Masalah itu datang dari dia.”

Hana langsung menoleh dengan tatapan tajam. “Masalah? Masalah apa? Justru kamu yang selalu bikin keributan!”

Raffa mengangkat bahu. “Aku nggak tahu apa yang kamu maksud. Aku cuma hidup seperti biasa.”

“Seperti biasa? Parkir sembarangan, musik keras, buang kardus di lorong, itu menurutmu biasa?”

Fira mengangkat tangan untuk menghentikan perdebatan. “Tenang, tenang. Kita di sini untuk menyelesaikan masalah, bukan menambahnya.”

Raffa bersandar di kursinya, tampak lebih santai. “Oke, Mbak Fira. Menurut saya, Mbak Hana ini terlalu sensitif. Dia harus belajar lebih santai. Hidup kan nggak harus selalu serius.”

Hana menghela napas panjang, mencoba menahan diri. “Ini bukan soal sensitif atau nggak. Ini soal aturan dan sopan santun.”

Fira mencatat sesuatu di buku catatannya sebelum bertanya, “Baiklah, apakah ada solusi yang kalian pikir bisa membantu?”

Hana langsung menjawab, “Dia harus berhenti mengganggu ketenangan orang lain. Itu saja.”

Raffa tersenyum tipis. “Dan aku cuma mau dia berhenti terlalu banyak mengeluh. Aku rasa itu adil.”

Fira terdiam sejenak, lalu menatap keduanya. “Bagaimana kalau kita buat kesepakatan sederhana? Misalnya, Raffa setuju untuk tidak memutar musik keras setelah jam 9 malam, dan Hana setuju untuk tidak terlalu reaktif terhadap hal-hal kecil.”

Hana memutar matanya. “Hal kecil? Ini soal prinsip.”

Raffa mengangkat tangan. “Aku setuju, deh, soal musik itu. Tapi aku nggak janji soal hal-hal lain. Aku orangnya spontan.”

Fira tersenyum lelah. “Baiklah. Kita mulai dari itu dulu. Kalau ada masalah lagi, kalian bisa lapor ke saya. Setuju?”

Hana mengangguk setengah hati. Raffa hanya tersenyum sambil berkata, “Setuju.”

Setelah Mediasi

Keluar dari ruangan mediasi, Hana merasa tidak puas. Ia yakin Raffa tidak akan benar-benar mematuhi kesepakatan itu.

“Lihat aja nanti,” gumamnya sambil berjalan ke arah lift.

Namun, saat ia masuk lift, Raffa menyusul dan berdiri di sebelahnya. Mereka terjebak dalam keheningan canggung.

“Kamu nggak suka, ya, sama aku?” tanya Raffa tiba-tiba.

Hana menoleh dengan ekspresi bingung. “Pertanyaan macam apa itu?”

“Aku cuma penasaran. Kamu kayaknya selalu marah-marah tiap ketemu aku.”

Hana mendengus. “Kalau kamu tahu jawabannya, kenapa masih nanya?”

Raffa tertawa kecil. “Aku cuma pengen tahu aja. Siapa tahu suatu hari nanti kamu berubah pikiran.”

Hana memutar matanya. “Nggak akan terjadi.”

Namun, jauh di lubuk hatinya, Hana merasa ada sesuatu yang aneh. Meskipun Raffa sering membuatnya kesal, ada bagian kecil dari dirinya yang mulai memperhatikan senyum santai pria itu.

Minggu, Maret 09, 2025

CONTOH PROPOSAL PENGAJUAN SARANA PRASARANA RT

CONTOH PROPOSAL SARANA PRASARANA RT

PROPOSAL SAPRAS RT

No       : 003/RT-06/09/II/2025

Lamp   :

Prihal   : Permohonan Pengadaan SAPRAS RT 006

  

Kepada Yth,

PT. Cita Lini Persada

Di

Tempat

 

Dengan hormat,

Dalam rangka memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana berupa kursi pelastik, Gerobak Barang, Lampu Jalan, Terpal, perbaikan tenda dan speaker portable untuk menunjang setiap pelaksanaan kegiatan di lingkungan RT 006/002 Kelurahan Kunciran Jaya Kecamatan Pinang Kota Tangerang. Dimana salah satu hambatan yang kami alami saat ini adalah minimnya kas yang kami miliki.

Oleh karena kebutuhan kami yang begitu besar terhadap sarana prasarana tersebut, bersama ini kami mengajukan permohonan untuk dapat diberikan bantuan berupa :

1.      Kursi Pelastik Sebanyak 25 buah

2.      Gerobak dorong untuk mengagngkut tenda

3.      Terpal untuk tenda

4.      Lampu jalan sebanyak 25 buah (banyak yang mati)

5.      Speaker Portable untuk pengajian dan tahlil

6.      Perbaikan Tenda (di cat ulang dan pengelasan tenda yang patah)

Demikian permohonan ini kami buat, besar harapan kami agar permohonan ini dapat ditindak lanjuti, dan atas perhatian kami ucapkan terima kasih.


Tangerang, 09 Februari 2025

Sekretaris RT 006                                                                                           Ketua RT 006


 

Abdul Habibi                                                                                                  Hasan Sahara


 

I.         PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Sarana prasarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. Pelaksanaan suatu proses pembangunan dapat terlaksana dengan baik apabila terdapat sarana dan prasarana yang menunjang sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat maksimal. Begitu pula pelaksanaan pemerintahan akan berjalan lancar apabila sarana dan prasarana memadai. Ketersediaan sarana prasarana yang menjadi inventaris merupakan alat yang disediakan agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh Masyarakat.

Dalam hal ini kami sangat membutuhkan sarana prasarana berupa tenda yang layak dipakai berikut dengan kursinya karena tenda dan kursi yang saat ini  kami miliki sudah rusak dan cendrung tidak dapat digunakan hal ini membuat Masyarakat RT 006 harus menyewa kursi dan tenda ketempat penyewaan dan ini memakan biaya yang tidak sedikit khususnya untuk warga yang tidak mampu, begitu juga saat terjadi musibah kematian dengan kondisi tenda dan kursi yang rusak membuat kami tidak dapat membantu dengan maksimal.

Selain tenda dan kursi kami juga sangat membutuhkan lampu jalan karena hampir semua lampu jalan yang ada sudah mati membuat suasana lingkungan menjadi gelap dan rawan kejahatan. Juga sarana pendukung seperti speaker portable yang mudah dibawa dan dapat digunakan untuk acara pengajian ataupun tahlil saat ada musibah kematian.

Berdasarkan latar belakang tersebut kami berharap kepada manajemen PT Cita Lini Persada berkenan untuk membantu merealisasikan pengadaan sarana prasarana seperti yang kami sampaikan diatas.

B.     TUJUAN

Tujuan pengadaan sarana prasarana tersebut sebagai inventaris RT 006 adalah sebagai berikut :

1)      Untuk menunjang pelaksanaan program dan kegiatan yang memadai.

2)      Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menyelenggarakan suatu acara

C.     RENCANA ANGGARAN BIAYA

Permohonan ini ditujukan untuk pengadaan Sarana dan Prasarana pendukung kegiatan sebagai berikut :

 

 

NO

KETERANGAN

JUMLAH DANA

1

Kursi 25 Buah X 90.000

Rp. 2.250.000

2

Gerobak dorong

Rp. 1.800.000

3

Lampu Jalan 25 X 40.000

Rp. 1.000.000

4

Terpat Tenda ukuran 6 X 4 M

Rp.    720.000

5

Speaker portable wireless

Rp. 4.000.000

6

Perbaikan Tenda (cat & Las)

Rp.     500.000

 

TOTAL

Rp. 10.270.000

Terbilang : Sepuluh Juta Dua ratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah

II.         PELAKSANAAN KEGIATAN

A.    SUSUNAN PENGURUS RT 006/002

Ketua RT                                 : Hasan Sahara

Sekretaris                                : Abdul Habibi, S.E.Sy

Bendahara                               : Abdul Qadir Jaelani

Seksi Humas                            : 1. Agus Suminta

                                                    2. Tohari

Seksi Keamanan                     : 1. Mija

                                                    2. Tatang

Seksi Keagamaan                   : 1. Selamet Riyadi

                                                    2. Deri

                                                    3. Iwan

Seksi Inventaris                       : 1. Nurdin

                                                    2. Yandi

                                                    3. Jaya

                                                    4. Marsin        

III.         PENUTUP

Demikianlah Proposal ini kami buat, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Besar harapan kami semoga proposal ini dapat disetujui dan direalisasikan, atas perhatiannya kami ucapkan kami ucapkan terima kasih.

Novel "Behind The Rain" Bab 2 Tetangga Paling Menyebalkan

 Bab 2: Tetangga Paling Menyebalkan

Bab 2: Tetangga Paling Menyebalkan


Pagi itu, Hana bangun dengan perasaan setengah lega. Setidaknya, malam ini ia berhasil tidur tanpa terganggu oleh dentuman bass dari apartemen sebelah. Tapi, perasaan lega itu tidak bertahan lama.

Begitu keluar untuk membuang sampah ke lorong, ia menemukan kejutan baru: sebuah tumpukan kardus bekas yang menutupi hampir seluruh akses lorong. Tepat di depan pintu apartemen Raffa.

“Astaghfirullah.., dia ini nggak pernah belajar, ya?” Hana menggerutu sambil mencoba melewati tumpukan itu dengan hati-hati. Tapi saat dia melangkah, salah satu kardus justru jatuh dan hampir membuatnya tersandung.

Dengan kesal, Hana mengetuk pintu apartemen Raffa.

Ketukan pertama tak ada jawaban. Ketukan kedua, masih sepi. Akhirnya, dia mengetuk lebih keras. Tidak sampai lima detik kemudian, pintu terbuka. Raffa muncul dengan rambut acak-acakan, mengenakan kaos lusuh dan celana pendek.

“Apa lagi sekarang, Mbak Hana?” tanya Raffa dengan nada malas.

“Ini apa, Mas?” Hana menunjuk tumpukan kardus di depannya.

“Oh, itu. Barang-barang pindahan. Kenapa?”

“Kenapa?” Hana mengulangi dengan nada tinggi. “Ini bikin lorong kayak gudang. Gimana kalau ada orang yang lewat atau—”

“Aku kan baru pindah, wajar kalau ada barang-barang,” potong Raffa santai.

“Tapi ini lorong umum, bukan tempat penyimpanan barangmu!”

Raffa menggaruk kepala, tampak seperti orang yang tidak peduli. “Oke, oke. Nanti aku rapikan. Santai aja, Mbak.”

“Santai? Kalau aku jatuh gara-gara ini, kamu tanggung jawab?”

Raffa terkekeh kecil. “Kalau kamu jatuh, nanti aku angkat. Tenang aja.”

Mendengar itu, Hana merasa darahnya mendidih. “Tolong pindahkan sekarang!”

Raffa mendesah, lalu dengan enggan mulai mengangkat kardus-kardus itu satu per satu. Sementara itu, Hana berdiri dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan dengan saksama seperti seorang supervisor yang sedang memarahi karyawan.

“Sudah puas, Mbak Hana?” tanya Raffa setelah selesai, dengan nada sedikit mengejek.

“Belum. Jangan bikin masalah lagi, ya.”

Raffa tertawa kecil. “Kalau aku nggak bikin masalah, kayaknya kamu bakal kehilangan hiburan, deh.”

Hana hanya mendengus sebelum berbalik dan masuk ke apartemennya. Ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana ia bisa mendapatkan tetangga seperti Raffa.

Hari-hari Penuh Kekacauan

Malam harinya, Hana baru saja selesai mandi ketika suara musik keras dari apartemen sebelah kembali terdengar. Kali ini, bukan musik EDM, melainkan lagu-lagu dangdut remix yang entah dari mana Raffa mendapatkannya.

“Ya ampun! Kenapa setiap malam harus begini?” gerutunya sambil menutup telinga dengan bantal.

Namun, saat dia hendak mengetuk dinding lagi, sebuah ide muncul di kepalanya. Jika Raffa bisa mengganggunya, kenapa dia tidak membalas?

Hana segera membuka laptopnya dan mencari video dengan suara bayi menangis. Ia memutar video itu dengan volume penuh dan menempelkan speaker laptopnya ke dinding.

Hanya dalam hitungan menit, musik dangdut itu berhenti. Lalu, suara ketukan keras terdengar di pintu apartemennya.

Hana tersenyum penuh kemenangan sebelum membuka pintu. Di sana, berdiri Raffa dengan ekspresi bingung.

“Kenapa ada suara bayi menangis?” tanya Raffa tanpa basa-basi.

“Oh, itu. Aku cuma pengen hiburan aja,” jawab Hana santai, menirukan gaya bicara Raffa sebelumnya.

Raffa mengerutkan kening. “Hiburan?”

“Iya. Kamu kan sering bilang, hidup ini harus santai. Jadi, aku santai aja.”

Raffa mendengus pelan, lalu tiba-tiba tersenyum. “Kamu sengaja, ya?”

Hana mengangkat bahu dengan wajah polos. “Aku nggak tahu kamu ngomong apa.”

Raffa menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. “Oke, Mbak Hana. Kalau itu caramu membalas, aku terima tantangan ini.”

Hana menutup pintu dengan cepat, merasa cemas. Apa dia serius?

Tantangan Dimulai

Keesokan harinya, Hana menemukan sesuatu yang aneh di depan pintunya. Sebuah balon besar berbentuk hati dengan tulisan: “Jangan marah-marah terus, ya. Santai aja :)”

Ia memandang balon itu dengan bingung, lalu bergegas ke apartemen Raffa. Pintu langsung terbuka sebelum Hana sempat mengetuk.

“Kamu sengaja taruh ini, ya?” tanya Hana sambil mengangkat balon itu.

Raffa hanya tersenyum lebar. “Kamu kan butuh hiburan. Aku bantu.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, hidup ini lebih indah kalau ada sedikit humor. Kamu terlalu serius, Mbak Hana.”

Hana memutar matanya, merasa percuma berdebat dengan pria itu. Tapi dalam hati, ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum kecil.

Featured Post

novel "Behind The Rain" Bab 5: Masalah di Kelas Memasak

  Bab 5: Masalah di Kelas Memasak Minggu pagi itu, Hana memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ingin ia coba: mengikuti kelas ...