Bab 5: Masalah di Kelas Memasak
Minggu pagi itu, Hana memutuskan untuk melakukan
sesuatu yang sudah lama ingin ia coba: mengikuti kelas memasak. Ia menemukan
kelas tersebut di sebuah studio kuliner kecil di lantai bawah apartemennya.
“Aku harus bisa masak sesuatu yang lebih dari sekadar
mie instan,” gumam Hana sambil mendaftar ke kelas yang bertema “Makanan
Penutup Elegan untuk Pemula.”
Setelah mengenakan celemek, ia memasuki ruangan yang
penuh dengan meja panjang, bahan-bahan segar, dan orang-orang yang tampak
antusias. Semua terlihat sempurna sampai seorang peserta baru masuk ke ruangan.
Dan siapa lagi kalau bukan Raffa.
Hana langsung terbelalak. “Kamu ngapain di sini?”
Raffa yang juga mengenakan celemek hanya menyeringai
santai. “Ikut kelas memasak, sama kayak kamu. Kenapa?”
“Kamu nggak punya hal lain yang lebih penting?”
Raffa mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, belajar masak
rasanya penting, kan? Lagi pula, aku sering pesan makanan online. Mungkin ini
cara hemat buat makan enak.”
Hana mendengus. “Kamu pasti salah masuk kelas. Ini
kelas makanan penutup, bukan kelas bikin mie goreng.”
Raffa terkekeh. “Makanya aku di sini. Biar nambah
ilmu.”
Pengajar kelas, seorang wanita paruh baya bernama Bu
Ratna, segera meminta semua peserta untuk mengambil posisi di meja
masing-masing. Hana mencoba mengabaikan Raffa yang kebetulan berdiri tepat di
meja sebelahnya.
Kekacauan di Dapur Mini
Kelas dimulai dengan pembuatan chocolate molten
cake, hidangan pencuci mulut klasik yang tampak sederhana, tapi ternyata
cukup rumit.
Hana, yang dikenal perfeksionis, mengikuti setiap
langkah dengan teliti. Ia mencatat instruksi, mengukur bahan dengan presisi,
dan memastikan semuanya berjalan lancar.
Sebaliknya, Raffa tampak seperti anak kecil yang baru
pertama kali masuk dapur. Ia mencampur bahan tanpa membaca instruksi,
menumpahkan cokelat cair ke meja, dan bahkan hampir menumpahkan gula ke lantai.
“Mas Raffa, tolong lebih hati-hati,” tegur Bu Ratna
sambil tersenyum sabar.
Raffa hanya tertawa kecil. “Maaf, Bu. Saya belum
terbiasa.”
Hana menghela napas panjang. “Kamu benar-benar nggak
cocok di sini.”
Raffa menoleh ke arah Hana sambil tersenyum jahil.
“Kamu yang terlalu serius. Masak itu soal seni, bukan matematika.”
“Seni juga butuh aturan,” balas Hana sambil memutar
matanya.
Namun, meskipun ia kesal, Hana tidak bisa menahan diri
untuk memperhatikan bagaimana Raffa dengan penuh semangat mencoba meskipun
hasilnya kacau. Ada sesuatu yang aneh dan… sedikit menggemaskan dalam caranya
berusaha.
Ketika Kekacauan Meninggalkan Bekas
Setelah sekitar satu jam, semua peserta diminta
memanggang adonan mereka di oven. Hana yakin bahwa miliknya akan sempurna.
Sebaliknya, Raffa bahkan tidak yakin apakah adonannya bisa mengeras.
Ketika saatnya tiba untuk mengeluarkan hasil
masing-masing, Hana tersenyum puas melihat molten cake-nya yang mengilap
dan harum.
Sementara itu, Raffa mengeluarkan sesuatu yang lebih
mirip dengan bola cokelat gosong.
“Apa ini?” gumamnya sambil menatap kue buatannya
dengan bingung.
Hana tidak bisa menahan tawa. “Itu namanya bencana.”
Raffa ikut tertawa kecil. “Ya, tapi setidaknya aku
mencoba.”
Namun, yang mengejutkan Hana adalah ketika Raffa
menawarkan potongan kecil dari kue gosongnya padanya.
“Coba ini, siapa tahu enak,” katanya sambil
menyodorkan sendok kecil.
Hana mengerutkan dahi. “Kamu serius?”
“Kenapa nggak? Mungkin kelihatannya nggak bagus, tapi
rasanya bisa aja mengejutkan.”
Setelah ragu beberapa detik, Hana akhirnya mencicipi
sedikit.
“Hmmm…” Hana merenung. “Nggak terlalu buruk, sih. Tapi
masih jauh dari enak.”
Raffa tertawa. “Berarti aku harus ikut kelas lagi.
Barangkali kita bisa jadi partner?”
Hana melotot. “Tidak mungkin!”
Kejutan Manis di Akhir Kelas
Ketika kelas selesai, semua peserta diperbolehkan
membawa pulang hasil karya mereka. Hana membawa molten cake-nya dengan
bangga, sementara Raffa hanya membawa sekotak kecil adonannya yang gagal.
Namun, sebelum mereka berpisah, Raffa memanggil Hana.
“Eh, Mbak Hana,” katanya sambil menyerahkan sekotak
kecil cokelat yang ia beli dari pengajar.
“Apa ini?” tanya Hana, bingung.
“Karena kamu nggak mungkin mau makan kue gosongku, ini
gantinya. Anggap aja ucapan terima kasih karena udah nggak marah-marah selama
kelas.”
Hana menatap kotak itu dengan ragu, tapi akhirnya
menerimanya. “Terima kasih, aku rasa.”
Raffa tersenyum lebar. “Sama-sama. Sampai ketemu lagi
di kelas berikutnya!”